EBOLA: SEBUAH PERTANYAAN YANG BELUM TERJAWAB
Bersembunyi dalam rimba pekat Afrika, mengancam nyawa penduduk asli di sekitar hutan hujan benua hitam, kemunculan Ebola yang mendadak menyadarkan manusia akan siapa yang sesungguhnya memegang kendali atas peradaban manusia di atas bumi. Di sepanjang tahun 2014 Ebola menjadi momok dunia modern dengan membunuh lebih dari 7.793 korban dan menyerang negara pesisir barat Afrika seperti Sierra Leone, Liberia, Mali, dan Nigeria. Ebola adalah sebuah penyakit perdarahan yang disebabkan oleh sebuah spesies virus yang bernama Ebolavirus. Virus ini menyebabkan gejala demam, nyeri otot, sakit kepala berat yang muncul dua hari sampai 3 minggu setelah seseorang terinfeksi Ebolavirus. Kemudian, virus ini menyebabkan inflamasi berat yang berakhir dengan perdarahan di berbagai organ. Keadaan ini akan diikuti dengan kegagalan fungsi dan menyebabkan organ sehat lainnya ikut rusak. Pada tahap tersebut, korban akan menampakkan gejala muntah dan diare bercampur darah, dan kegagalan ginjal dan hati. Kematian umumnya terjadi antara enam sampai enam belas hari sejak gejala pertama muncul. Penyakit ini memilki angka kematian yang bervariasi antara 25-90% dengan rerata sekitar 50% penderita. Virus ini menular melalui cairan tubuh, baik ludah, darah,keringat, maupun muntahan dan feses. Penularan pada keluarga pasien seringkali terjadi pada saat perawatan pasien, pemandian jenazah, dan penguburan korban yang dilakukan tanpa pengamanan yang memadai. Pada awal setiap epideminya, lonjakan jumlah penderita terbesar diakibatkan oleh ketidaktahuan keluarga penderita dalam merawat pasien atau mayat pasien yang mengakibatkan tertularnya diri mereka sendiri. Bahaya sesungguhnya dari Ebola bukanlah bagaimana virus ini dengan mudahnya menjangkit antara satu ke lainnya. Melainkan bagaimana penyakit ini menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat modern yang saling terkoneksi. Kepanikan massal pada daerah zona bahaya Ebola bukanlah sesuatu yang sulit dimengerti. Keluarga korban mengambil paksa pasien yang sakit disebabkan oleh rendahnya angka harapan hidup penderitanya. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana seorang nenek yang membawa cucu perempuannya yang terjangkit Ebola keluar dari Sierra Leone menuju Mali meninggalkan anaknya (ibu dari cucunya) yang sudah meninggal terlebih dahulu, dengan harapan mendapatkan pengobatan yang lebih layak. Alih-alih, bukannya mendapatkan pengobatan, sang nenek harus merelakan cucunya meninggal dan memberikan dunia setumpuk masalah baru: puluhan orang yang bertemu dan “terpaksa” kontak dengan penyakit Ebola dari cucu perempuannya. Pada saat outbreak di Zaire pada pertengahan dekade 70-an, begitu takut dan putus asanya masyarakat dan petugas medis, mereka mengumpulkan seluruh pasien dan meninggalkan para pasien Ebola di dalam sebuah rumah sakit. Pada saat mereka kembali untuk melihat kondisi di tempat itu, mereka menyaksikan mayat yang membusuk, darah menggenang di lantai, goresan kuku penuh darah di pintu, aroma anyir di udara sekeliling mereka, dan akhir yang sementara dari sebuah epidemi. Terlepas dari gelapnya cerita di atas, containment memang usaha paling tepat untuk menanggulangi penyakit menular yang mematikan. Pada keadaan dimana tidak ada terapi yang definitif, usaha untuk mengumpulkan semua orang yang sakit dan semua orang yang diduga terjangkit dalam area yang terpisah dari orang sehat dapat mencegah penularan sekaligus menghentikan wabah. Para petugas medis seringkali menemukan kenyataan pahit saat mengejar kasus pasien yang dibawa paksa pulang oleh keluarganya dimana, desa pasien tersebut menjadi titik wabah Ebola baru, dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Penularan terhadap petugas kesehatan menjadi momok yang sangat menakutkan karena kurangnya petugas medis yang ada dan kemungkinan menularkan penyakit ke orang yang tidak sakit. Sayangnya, pada epidemi tahun 2014 kurangnya peralatan pelindung diri untuk petugas menyebabkan hilangnya 365 nyawa paramedis. Jumlah ini tidak termasuk dengan terbunuhnya paramedis oleh keluarga pasien yang tidak puas atas meninggalnya keluarga mereka. Penyakit Ebola sampai tahun 2014 masih dianggap sebagai kutukan, ilmu gelap, dan murka alam terhadap mereka. Sehingga tidak aneh jika keluarga pasien memaksa untuk memulangkan sang penderita, karena ilmu kedokteran barat diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak berguna dan membuang waktu dan karena sang makhluk halus tidak dapat disingkirkan hanya dengan containment dan infus serta obat. Pasien ini harus dibawa menemui sang shaman di dusun mereka, didoakan, dalam ritual yang dipenuhi organ dalam hewan dan perangkat non steril. Pada akhir cerita, hampir seluruh pasien yang tidak beruntung ini meninggal, kemudian shaman yang terhormat ini pun terjangkit Ebola dan meninggal, lalu keluarga pasien yang merawat dengan penuh kasih saying dan kontak fisik juga terjangkit dan meninggal, dan anggota masyarakat di desa yang membantu proses pemakaman, dengan sangat menyesal, terjangkit Ebola dan meninggal. Pada tanggal; 26 September 2014, WHO menyatakan bahwa epidemi Ebola tahun 2014 adalah keadaan darurat kesehatan masyarakat paling berat yang pernah dicatat dalam sejarah modern. Surat kabar Financial Times menduga dampak perekonomian yang disebabkan oleh wabah ini lebih besar daripada wabah itu sendiri. Penerbangan dari dan ke Afrika Barat dihentikan dan harga bahan makanan melonjak naik karena tidak ada distributor yang bersedia mengantarkan makanan ke daerah endemi. Sekolah dan fasilitas umum ditutup untuk mencegah penularan secara langsung. Toko dan swalayan dijarah karena warga kehabisan opsi untuk bertahan hidup dalam himpitan kebutuhan dasar (yang tentu saja diakibatkan oleh ditutupnya tempat bekerja – untuk menghindari penularan antar pekerja). Lalu pertanyaannya, kapan kita memiliki vaksin untuk Ebola? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita belajar dari kasus berikut: Kasus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) pada akhir tahun 2013 kemarin yang menyebabkan kematian lebih dari 100 jemaah haji dan menyebarkannya ke negara asal. Mengapa MERS yang serupa dengan virus SARS ini tidak ada vaksinnya? Padahal virus ini menyerang pada suatu wadah yang berisi jutaan manusia dan dapat menularkannya kembali ke seluruh dunia. Jawabannya adalah karena perusahaan vaksin global telah belajar dari kasus SARS, dimana banyak perusahaan telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk riset, tetapi ternyata pengendalian dan containment pasien terbukti dapat menghentikan penyebaran penyakit SARS (walaupun dengan korban jiwa yang tidak sedikit). Sebagai akibatnya, pada kasus Ebola, perusahaan vaksin memilih untuk diam dan melihat bagaimana penyakit tersebut dapat dikendalikan sebelum mulai mempersiapkan modal untuk menciptakan vaksinnya. Jumlah korban, bukanlah sebuah variabel yang relevan dalam memperhitungkan penanaman modal inovasi vaksin baru. Namun dengan ancaman ekonomi global dan resiko penularan yang meluas, satu persatu stakeholder memutuskan untuk mengujicobakan vaksin Ebola mereka. Berbagai kerjasama organisasi nasional dan perusahaan farmasi dilakukan untuk mencari terapi dan vaksin. Pemberian ujicoba antibodi ZMapp terhadap pasien Ebola masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Sementara itu fase pertama vaksin Ebola oleh NIAID/GSK juga menyisakan berbagai pertanyaan kendati dinyatakan sukses membangkitan sistem imun terhadap komponen Ebolavirus. Hasil dari ujicoba vaksin tersebut akan di-follow up pada awal tahun 2015 di beberapa negara Afrika untuk mendapatkan jumlah sukarelawan lebih banyak dan gambaran respons imun penduduk setempat. Beberapa keberhasilan ini kembali menyalakan harapan akan perlawanan, walaupun perlindungan nyata terhadap Ebola mungkin masih jauh di masa depan sana. Hingga detik ini, epidemi Ebola masih belum berakhir. Virus hemoragik ini masih terus mengambil nyawa walaupun lajunya berkurang dengan containment yang semakin baik. Kejadian ini membuat kita semakin mawas diri dan introspeksi: Siapkah kita apabila spesies baru lain muncul? Apakah perusahaan vaksin dan organisasi kesehatan global bersedia untuk segera menangani apabila permasalahan serupa terulang kembali? Dan terakhir, bagaimana Indonesia dan khususnya Biofarma, sebagai perusahaan vaksin satu-satunya di negara ini bersiap diri untuk melindungi warganegara terhadap ancaman biosafety sekelas Ebola di masa depan nanti? Muhammad Iqbal Gentur Bismono
Hiding in the dense jungle of Africa, threatening the lives of indigenous people around the black continent’s rain forest, the sudden emergence of Ebola will awaken the people to acknowledge who are actually in control of the human civilization on earth. Throughout 2014, Ebola is a scourge to the modern world by killing more than 7793 victims and attack the west coast of Africa such as Sierra Leone, Liberia, Mali, and Nigeria. Ebola is a hemorrhagic disease caused by a virus called the Ebola virus. This virus causes fever, muscle pains; severe headache that appears two days to 3 weeks after a person is infected by the Ebola virus. Then, the virus causes severe inflammation that ends with bleeding in various organs. This situation will be followed by a malfunction and cause damage to other healthy organs. At that stage, the victim will show symptoms of vomiting and diarrhea mixed with blood, and kidney and liver failure. Death usually occurs between six and sixteen days after the first symptoms appear. This disease has the death rate that varies between 25 - 90% with an average of about 50% of patients. The virus is transmitted through body fluids, either saliva, blood, sweat, or vomit and feces. Transmission in families of patients often occurs during patient care, bathing the corpse, and the burial of the victims carried out without adequate safeguards. At the beginning of each epidemic, the biggest surge in the number of patients is due to the ignorance of the patient's family in caring for the patient or the corpse of the patient that resulted in transmission of the virus to themselves. The actual hazard of Ebola is not how the virus is easily spread from one to another. But how this disease raises fears in modern society interconnected. Mass panic in the area of Ebola hazard zone is not somewhat difficult to understand. The victim's family forcibly takes diseased patients due to the low life expectancy of the patients. This includes how a grandmother who took her granddaughter infected by Ebola out of Sierra Leone towards Mali leaving her daughter (the mother of her grandchild) who had died first, in hopes of getting proper treatment. Instead of getting proper treatment, the grandmother had to lose her grandchild and give the world a stack of new problems: dozens of people who meet and were "forced" to be in contact with the Ebola Virus originating from her grandchild. At the time of the outbreak in Zaire in the mid 70s, the society and medical officers were terrified and desperate, that they gathered all the Ebola patients and left them in the hospital. By the time they returned to take a look at the condition of the place, they found decomposing bodies, blood all over the floor, bloody fingernail scratches on the door, the smell of rancid in the air around them, and a temporary end of an epidemic. Apart from the darkness of the story above, containment is the most appropriate effort to combat deadly infectious diseases. In circumstances where there is no definitive treatment, attempt to gather all the infected and all those who are allegedly infected in separate areas of healthy people can prevent transmission as well as stop the outbreak. Medical officers often find harsh reality when pursuing cases of patients who were forcibly taken home by their family where the village of the patient becomes a new Ebola outbreak point, with a not small number of victims. Transmissions to health care workers are very frightening due to the lack of medical personnel and the possibility of transmitting the disease to people who are not infected. Unfortunately, the 2014 epidemic is due to the lack of the personal’s protective equipment which led to the loss of 365 lives of the paramedics. This amount does not include the death of paramedics murdered by families of patients who are outraged by the death of their family members. The Ebola disease up to the year 2014 is still regarded as a curse, dark science, and nature's wrath against them. So it is common if the patient's family forced to take out the patient, since the western medical is assumed as something useless and a waste of time and evil spirits can not be detached only by containment and infusions and drugs. These patients should be taken to meet the shaman in their village, to be prayed in a ritual filled with organs of animals and non-sterile devices. At the end, almost all of these unfortunate patients pass away, and the shaman is also infected with Ebola and passes away, and the families taking care of the patients with full affection and physical contact are also infected and pass away, and the community members in the village who assist with the funeral are also infected with Ebola and pass away. On 26th September 2014, the WHO declared that the 2014 Ebola epidemic is the most severe public health emergency ever recorded in the modern history. The Financial Times newspaper suspect economic impact caused by this epidemic is greater than the plague itself. Flights from and to West Africa are stopped and food prices have soared since no distributors are willing to deliver food to the endemic areas. Schools and public facilities are closed to prevent direct transmission. Stores and supermarkets are looted because the people ran out of options to survive and the needs of the basics (which of course is caused by the closing of their work place - to avoid infection among workers). Then the question is, when will we have a vaccine for Ebola? Before answering this question, let us learn from the following cases: the MERS Case (Middle East Respiratory Syndrome) by the end of 2013 which caused the death of more than 100 hajj pilgrims and pass it to the country of origin. Why is MERS that is similar to the SARS virus has no vaccine? Though this virus has attacked millions of people and can spread it to the rest of the world. The answer is because the global vaccine companies have learned from the SARS case, where many companies have spent a large amount of fund for the research, however control and containment of patients proven to stop the spread of SARS (although the victims were not little). As a result, in the case of Ebola, vaccine companies choose to remain silent and see how the disease can be controlled before starting to prepare the capital to create a vaccine. The number of victims, is not a relevant variable in the calculation of a new vaccine innovation investment. Nevertheless with the threat of global economy and the risk of widespread transmission, one by one, the stakeholders decided to test their Ebola vaccine. Various cooperation of national organizations and pharmaceutical companies are performed to seek therapy and vaccines. The administration of ZMapp antibody test against Ebola patients still have not given satisfactory results. While the first phase of the Ebola vaccine by NIAID/GSK also leaves many questions despite otherwise successfully generates an immune system against the Ebola virus components. The results of the vaccine test will be followed up in early 2015 in some African countries to get more numbers of volunteers and the overview of the immune response of the local residents. Some of these successes raise hope, although the real protection against Ebola may still be far in the future. Until now, the Ebola epidemic is far from over. This Hemorrhagic Virus is still taking lives although its speed is reduced by carrying out better containment. This incident makes us more introspective: are we ready when another new species arise? Are vaccine companies and global health organizations willing to immediately address if similar issues reoccur? And lastly, how Indonesia and especially Bio farma, as the only vaccine company in the country prepared to protect its citizens against biosafety threats such as Ebola in the future? Muhammad Iqbal Gentur Bismono