Kebutuhan Vaksin Nasional 100% Dipasok dari Bio Farma
INILAH, Bandung - PT Bio Farma diakui memasok 100% kebutuhan vaksin di Indonesia. Kepala Sub Direktorat Imunias, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Prima Josephine mengatakan, ini menjadi keunggulan Indonesia di mata World Health Organization (WHO).
"Kita beruntung memiliki pabrik vaksin sendiri. Soalnya, untuk vaksinasi dan imunisasi ini menimbulkan economic cost yang tidak sedikit. Sejauh ini, Bio Farma memasok 100% kebutuhan vaksin di Indonesia," kata Prima saat peringatan Pekan Imunisasi Dunia bertema 'Menutup Senjang Imunisasi: Imunisasi untuk Semua Sepanjang Hidup' di gedung Rumah Sakit Pendidikan (RSP) Unpad Bandung, Minggu (1/5).
Menurutnya, saat Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2016 pada Maret lalu, economic cost yang harus dibayar mencapai Rp45 miliar. Prima menegaskan, dana tersebut merupakan tanggungan pemerintah pusat untuk logistik vaksin. Jumlahnya bertambah banyak karena pemerintahan daerah pun mengeluarkan biaya operasional yang tidak sedikit.
"Biaya tinggi untuk imunisasi ini bisa membengkak hingga Rp1 triliun untuk memasok vaksin di Posyandu se-Indonesia. Pada 2005 lalu, untuk satu putaran imunisasi polio saja mencapai Rp100 miliar," ujarnya.
Khusus vaksin polio, PT Bio Farma memasok duapertiga kebutuhan vaksin polio dunia. Pada
PIN Polio 2016, BUMN ini memasok sebanyak 1,4 juta vial vaksin polio 20 dosis. Anggaran yang dikeluar mekan Kementerian Kesehatan ini didistribusikan melalui Dinas Kesehatan di daerah.
Sedangkan, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan menjelaskan mengenai capaian di Tanah Air. Provinsi yang diklaim sebagai daerah target cakupan paling tinggi yakni DI Yogyakarta dengan cakupan 90%.
“Provinsi terendah target cakupan ini ada di Papua yang hanya sekitar 20%. Tahun depan, kita harakan Jabar menjadi provinsi tertinggi target capaian imunisasi," ucapnya.
Mengenai imunisasi, Aman mengaku sejauh ini pihaknya terkendala beberapa masalah. Di antaranya, persoalan data yang dihasilkan sejumlah lembaga menunjukkan angka yang berbeda-beda. Selain itu, masalah keterlibatan masyarakat dalam edukasi imunisasi ini pun relatif minim.
"Semua usaha yang kita lakukan ini sesuai dengan rencana aksi Global Vaccine Action Plan. Komitmen Majelis Kesehatan Dunia ini menargetkan pada 2020 mendatang memastikan tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak divaksinasi," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Jabar Netty Prasetiyani Heryawan menegaskan imunisasi ini merupakan hak dasar anak yang harus dipenuhi. Ini bermanfaat untuk proses tumbuh-kembang anak.
"Selain itu, imunisasi ini pun diatur dalam UU Perlindungan Anak. Secara umum, imunisasi ini mutlak harus dilakukan karena sebagai salah satu syarat keunggulan bangsa. Makanya, kita terus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengikuti imunisasi," tuturnya.
Dikarenakan imunisasi ini disahkan negara menjadi hak, Netty menyebutkan semestinya tidak ada kesenjangan imunisasi. Sejauh ini, persoalan akses, penolakan sebagian masyarakat, minimnya aspek legalitas, dan infrastruktur di daerah diakui sebagai faktor kesenjangan imunisasi. (jul)
[:en]
INILAH, Bandung - PT Bio Farma diakui memasok 100% kebutuhan vaksin di Indonesia. Kepala Sub Direktorat Imunias, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Prima Josephine mengatakan, ini menjadi keunggulan Indonesia di mata World Health Organization (WHO).
"Kita beruntung memiliki pabrik vaksin sendiri. Soalnya, untuk vaksinasi dan imunisasi ini menimbulkan economic cost yang tidak sedikit. Sejauh ini, Bio Farma memasok 100% kebutuhan vaksin di Indonesia," kata Prima saat peringatan Pekan Imunisasi Dunia bertema 'Menutup Senjang Imunisasi: Imunisasi untuk Semua Sepanjang Hidup' di gedung Rumah Sakit Pendidikan (RSP) Unpad Bandung, Minggu (1/5).
Menurutnya, saat Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2016 pada Maret lalu, economic cost yang harus dibayar mencapai Rp45 miliar. Prima menegaskan, dana tersebut merupakan tanggungan pemerintah pusat untuk logistik vaksin. Jumlahnya bertambah banyak karena pemerintahan daerah pun mengeluarkan biaya operasional yang tidak sedikit.
"Biaya tinggi untuk imunisasi ini bisa membengkak hingga Rp1 triliun untuk memasok vaksin di Posyandu se-Indonesia. Pada 2005 lalu, untuk satu putaran imunisasi polio saja mencapai Rp100 miliar," ujarnya.
Khusus vaksin polio, PT Bio Farma memasok duapertiga kebutuhan vaksin polio dunia. Pada
PIN Polio 2016, BUMN ini memasok sebanyak 1,4 juta vial vaksin polio 20 dosis. Anggaran yang dikeluar mekan Kementerian Kesehatan ini didistribusikan melalui Dinas Kesehatan di daerah.
Sedangkan, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman B Pulungan menjelaskan mengenai capaian di Tanah Air. Provinsi yang diklaim sebagai daerah target cakupan paling tinggi yakni DI Yogyakarta dengan cakupan 90%.
“Provinsi terendah target cakupan ini ada di Papua yang hanya sekitar 20%. Tahun depan, kita harakan Jabar menjadi provinsi tertinggi target capaian imunisasi," ucapnya.
Mengenai imunisasi, Aman mengaku sejauh ini pihaknya terkendala beberapa masalah. Di antaranya, persoalan data yang dihasilkan sejumlah lembaga menunjukkan angka yang berbeda-beda. Selain itu, masalah keterlibatan masyarakat dalam edukasi imunisasi ini pun relatif minim.
"Semua usaha yang kita lakukan ini sesuai dengan rencana aksi Global Vaccine Action Plan. Komitmen Majelis Kesehatan Dunia ini menargetkan pada 2020 mendatang memastikan tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak divaksinasi," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Jabar Netty Prasetiyani Heryawan menegaskan imunisasi ini merupakan hak dasar anak yang harus dipenuhi. Ini bermanfaat untuk proses tumbuh-kembang anak.
"Selain itu, imunisasi ini pun diatur dalam UU Perlindungan Anak. Secara umum, imunisasi ini mutlak harus dilakukan karena sebagai salah satu syarat keunggulan bangsa. Makanya, kita terus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengikuti imunisasi," tuturnya.
Dikarenakan imunisasi ini disahkan negara menjadi hak, Netty menyebutkan semestinya tidak ada kesenjangan imunisasi. Sejauh ini, persoalan akses, penolakan sebagian masyarakat, minimnya aspek legalitas, dan infrastruktur di daerah diakui sebagai faktor kesenjangan imunisasi. (jul)
[:]