Memperbaiki Nasib Anak Indonesia
Jumlah anak pendek di Indonesia mencapai 37,2% dan penderita gizi kurang/ buruk 19,6%. Persoalan anak pendek sejatinya telah berlangsung lama. Hanya,kita baru tersadar sekarang. Masalah gizi yang kita hadapi dari dulu hingga kini mungkin memberikan kontribusi signifikan terhadap prestasi anak-anak bangsa. Memperhatikan data tantang kualitas SDM Indonesia sungguh miris. Banyak anak didik memiliki lower order thinking skills.Dengan mengacu kepada studi Trends in International Math and Science Survey (TIMSS) 2007, anak-anak Indonesia yang memiliki performa rendah dan di bawah rata-rata berjumlah 78%, Hong Kong 15%, Taiwan 14%, Singapura 12%, dan Korea 10%. Ini cermin bahwa program-program gizi selama ini belum cukup untuk memperbaiki kualitas anak-anak Indonesia. Negara melakukan upaya-upaya perbaikan gizi dan kesehatan melalui pemberian makanan tambahan, fortifikasi bahan makanan, imunisasi, dan pemberian suplemen besi/vitamin A. Namun, di sisi lain, kita kurang hirau terhadap sumber daya nutrisi yang murah dan selalu tersedia yaitu air susu ibu (ASI) sehingga capaian ASI eksklusif masih relatif rendah. Selama ini instansi pemerintah ataupun swasta memberikan cuti melahirkan kepada kaum perempuan selama tiga bulan. Terkadang cuti tersebut diambil satu bulan sebelum melahirkan dan dua bulan sesudah melahirkan. Kebijakan cuti yang selama ini diberlakukan sesungguhnya tidak mendukung upaya perbaikan kualitas hidup bangsa. Pakar gizi dan kesehatan telah menyepakati bahwa bayi harus diberi ASI eksklusif (ASI saja) selama enam bulan pada awal kehidupannya. Hal itu akan menjamin asupan nutrisi yang berkualitas dalam periode yang sangat penting ini. Coba hitung berapa kerugian yang ditanggung perusahaan bila seorang perempuan cuti melahirkan enam bulan dan bandingkan dengan biaya yang harus dipikul rumah tangga karena harus membeli susu formula? Perhitungkan juga potensi kecerdasan yang hilang akibat seorang anak tidak mendapatkan ASI secara cukup. Negara yang menaruh perhatian terhadap kualitas SDMnya tentu tidak akan ragu menetapkan kebijakan yang berpihak pada membaiknya tumbuh kembang anak. Indonesia ialah negara dengan jumlah penduduk miskin sangat banyak. Penduduk miskin ini tidak seyogianya membelanjakan penghasilannya yang pas-pasan untuk membeli susu formula karena mereka telah dibekali Tuhan dengan ASI sebagai makanan bayi. Perempuan di zaman pra-industri ialah ibu-ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengelola urusan domestik keluarganya. Dalam perjalanannya dan seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri, kaum perempuan akhirnya memasuki dunia kerja profesional yang menuntut banyak curahan waktu dan tenaga. Cost yang harus diambil ialah hilangnya atau berkurangnya kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya, termasuk hilangnya kesempatan untuk menyusui dengan ASI secara cukup. Pemberian cuti yang hanya tiga bulan pasca melahirkan akan menyulitkan penerapan ASI eksklusif sehingga bayi tidak mendapatkan haknya. Perempuan pekerja secara matematis mendapat beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan kaum pria karena selain sebagai pekerja, kaum perempuan itu melaksanakan tugas-tugas domestik sebagai ibu rumah tangga. Tugas domestik tersebut hendaknya tidak dipangkas kebijakan kantor atau perusahaan. Oleh sebab itu, mari bersamasama kita upayakan kebijakan cuti bagi perempuan yang mendukung perbaikan kualitas hidup bangsa. Selain itu, suami harus mendorong istri untuk memberikan ASI eksklusif bagi bayinya. Istilah breastfeeding father baru-baru ini dimunculkan bukan sebagai bentuk kekenesan perempuan, melainkan lebih untuk menyadarkan kaum pria bahwa pemberian ASI untuk anak memang tugas perempuan, tetapi suami harus selalu memberi dukungan agar perempuan tidak gampang menyerah dalam memberikan makanan alamiah terbaik bagi bayinya. Pemberian cuti yang hanya tiga bulan pasca melahirkan akan menyulitkan penerapan ASI eksklusif sehingga bayi tidak mendapatkan haknya yakni mendapatkan makanan alami yang melekat pada tubuh ibunya. Sangat penting disadari bahwa produksi ASI ditentukan frekuensi menyusui dan stres seorang ibu. Apabila ibu harus bekerja dengan meninggalkan bayi berusia tiga bulan di rumah, selama di kantor ibu mengalami kesulitan untuk mengeluarkan air susunya. Semakin sering dia terkendala untuk mengeluarkan ASI, akan muncul gangguan produksi ASI. Pada akhirnya, jumlah ASI akan semakin sedikit dan akhirnya kering sebelum masa penyusuan dua tahun terpenuhi. Kondisi stres akan mengakibatkan berkurangnya produksi ASI. Sumber stres bisa berasal dari banyak hal seperti perubahan jam bekerja dan adanya persoalan dengan atasan atau rekan sekerja. Orang modern kini menghadapi sumber stres yang beraneka ragam karena tantangan hidup yang semakin berat. Ketika industrialisasi berkembang sebagai tanda kemajuan zaman, masyarakat harus menghadapi stres akibat polusi, stres akibat iklim udara yang semakin panas, dan stres emosional akibat pekerjaan atau sebab-sebab lainnya. Bagi perempuan pekerja rendahan, stres semakin bertambah karena penghasilan yang tidak memadai sehingga mereka terlilit utang. Ini akan berdampak negatif bagi produksi ASI. Agar kaum perempuan dapat menyusui anaknya dengan tenang dan mendayagunakan ASInya secara maksimal, sudah saatnya peraturan cuti bagi kaum perempuan diubah dari hanya 3 bulan menjadi 6 bulan. Perempuan perlu diberi kesempatan untuk membesarkan anaknya dengan baik. Maternal bonding dalam enam bulan awal kehidupan seorang anak sangat penting. Seorang bayi akan merasa aman dan nyaman dalam dekapan ibunya ketika dia disusui. Di Finlandia, konon ibu yang mau menyusui bayinya mendapatkan reward dari pemerintah. Itu menunjukkan besarnya perhatian negara terhadap tumbuh kembang seorang anak. Indonesia tidak akan mampu memberi reward bagi perempuan yang menyusui anaknya, tetapi paling tidak kaum perempuan harus diberi kesempatan untuk dapat secara leluasa memberikan ASI bagi anaknya. Oleh sebab itu, harus ada komitmen dari pemerintah untuk memberikan cuti melahirkan sesuai kaidah ASI eksklusif yaitu enam bulan pasca melahirkan. Sumber : Headline Memperbaiki Nasib Anak Indonesia MediaTitle Media Indonesia
The number of short children in Indonesia reaches 37.2% and patients with poor/malnutrition reaches 19.6%. The issue of short children has actually been a longstanding issue. However, we are only aware of the issue these present days. Nutritional problems that we face from the past up to this day may make a significant contribution to the achievement of the nation's children. Having regard to the data of quality of Indonesian human resources is really distressing. Many students have a lower order thinking skills. By referring to the study of Trends in International Math and Science Survey (TIMSS) 2007, Indonesian children who have low performance and below average amounted to 78%, Hong Kong 15%, Taiwan 14 %, Singapore 12%, and Korea 10%. It reflects that nutrition programs have not been sufficient to improve the quality of Indonesian children. The government makes efforts to improve nutrition and health through supplementary feeding, fortification of food, immunization, and providing iron supplement / vitamin A. However, on the other hand, we are less concerned to the cheap resources and are always available, namely the breast milk (ASI), the administration of exclusive breastfeeding is still relatively low. So far, the government as well as private agencies grant maternity leave to women only for three months. Sometimes such leave is taken one month prior to the birth and two months after the birth. The Maternity Leave policies that have been enacted in fact do not support efforts to improve the quality of life of the nation. Nutrition and health experts have agreed that children should be exclusively breastfed (only breast milk) for the first six months. It will ensure quality nutrition in the critical period. You can calculate the cost of the company when a woman is on maternity leave for six months compared to the cost of purchase of formula milk? Also calculate the potential intelligence lost due to a child not receiving sufficient breast milk. Countries that are concerned about the quality of its human resources will certainly not hesitate to set policies in favor of the improvement in child development. Indonesia is a country with a great number of less-fortunate people. This less-fortunate people should not spend their income on buying formula milk since they are endowed with breast milk as baby food by God. Women in the pre-industrial era are housewives who are responsible for managing domestic affairs in their family. With the rapid growth of the industry, women are finally entering the world of professional work that requires a lot of time and energy. The Cost of it all is the loss or reduction in the opportunity to take care of their children, including the loss of opportunity to breastfeed sufficiently. Granting maternity leave only for three months after giving birth would complicate the implementation of exclusive breastfeeding accordingly the baby does not receive its rights. Women obtain more burdens in comparison to men because other than being an employee, they also have the obligation in carrying out domestic duties as a housewife. Such domestic duties should not be pruned by the policy of the office or company. Therefore, let us strive together for a maternity leave policy for women to support the improvement of the quality of life of the nation. Moreover, the husband must encourage the wife to provide exclusive breastfeeding for their infants. The term breastfeeding father has recently emerged not as a form of female vanity, but rather to awaken men that breastfeeding for children is a woman's obligation, however husbands should always give support to their wives so that they don’t easily quit in providing the best natural food for their infants. Granting maternity leave only for three months after giving birth would complicate the implementation of exclusive breastfeeding accordingly the baby does not receive its rights in getting natural food from the mother's body. It's important to realize that milk production is determined by the frequency of breastfeeding and the stress of the mother. If a mother has to work by leaving her three month old baby at home, the mother will have difficulty to produce milk. The more often she is constrained to produce milk, the milk production disruptions will occur. In the end, the amount of milk will be less and finally dry out before the breastfeeding period of two years are met. Stress conditions will result in reduced milk production. Sources of stress may come from many things such as changes in work hours and problems with the superior or co-worker. Modern people these days are addressed with diverse source of stress due to the increment of challenges in life. When industrialization evolves as a sign of progress of time, people have to address stress due to pollution, stress due to the warmer climate, and emotional stress due to work or other causes. For women of low class workers, stress increases due to the inadequate income hence being in debt. This will negatively affect the milk production. In order for women to breastfeed their child and maximize its breast milk, it is time to alter the maternity leave regulation from only 3 months to 6 months. Women need to be given the opportunity to raise their children well. Maternal bonding in the initial six months of a child's life is very important. A baby will feel safe and comfortable in the arms of their mother when they are breastfed. In Finland, it is said that mothers who are willing to breastfeed their babies get rewards from the government. This shows a big concern of the country to the growth of children. Indonesia will not be able to give rewards for women who are willing to breastfeed their child, however they should be given the opportunity to be able to provide breast milk for their child. Therefore, there should be a commitment from the government to grant maternity leave according to the rules of exclusive breastfeeding for six months after birth. Source: Headline Making Difference in Indonesian Children Media Title Media Indonesia