Menanti Penangkal Salmonella Karya Anak Bangsa
[:en]
Yanto Rachmat Iskandar --> yanto.rachmat@bisnis.co.id PT Bio Farma (Persero), menjadi satu-satunya produsen vaksin di Indonesia yang turut memaparkan perkembangan hasil riset vaksin tifoid atau tifus kepada sekitar 200 stakeholder kesehatan dari seluruh dunia. Pemaparan hasil riset Bio Farma untuk vaksin tifoid itu menunjukkan adanya kemajuan, bahkan percepatan dalam pembuatan vaksin tifoid dan invasive non typhoid Salmonella (INTS). Dan sepertinya, Bio Farma segera mampu memproduksi vaksin tifoid konjugat untuk menangkal tifoid dan INTS. Hal yang tentunya menggembirakan sekaligus membanggakan bagi perkembangan industri kesehatan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Erman Tritama, peneliti muda Bio Farma mengemukakan proses pengembangan vaksin tifoid konjugat sudah mencapai tahap Pra-Klinis dalam waktu sekitar setahun.Uji pra klinis itu merupakan uji toksisitas dan Imunogenitas Sesuai rencana perusahaan, proses uji praklinis rampung pada Juni 2015 dan pada juli prosesnya bisa berlanjut ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk memasuki uji klinis fase I, fase II, dan fase III. “Maka sesuai target kami, lisensi vaksin ini akan didapatkan pada kuartal IV/2017 dan diharapkan pada 2018 sudah dapat digunakan di Indonesia,” ucapnya. Supaya produk Bio Farma itu mampu menembus pasar ekspor, kata Erman, Bio Farma siap mengajukan uji Pra Kualifikasi melalui Badan Kesehatan Dunia atau WHO. Menurut Erman, proses tersebut akan memakan waktu sekitar setahun. Dengan demikian, produk karya anak Bangsa itu diharapkan sudah di ekspor pada 2019, denagn tujuan negara-negara yang memiliki resiko dengan Salmonella. Kesadaran Rendah Penyakit Tifoid dan INTS memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dan sevbagian besar penghuni benua Asia dan Afrika. Masalah sanitasi dan perilaku hidup tidak sehat mendorong kawasan itu menjadi endemis penyakit Tifoid. Seperti dituturkan peneliti Universitas Indonesia (UI) Bonita Effendi, resiko kematian akibat tifoid di Indonesia mencapai 1,25%, sedangkan hasil riset kesehatan dasar oleh Kementrian Kesehatan pada 2007 menyebutkan angka prevalensi tifoid di Indonesia mencapai 0,3%-3%, dengan angka rata-rata mencapai 1,6%. Sebanyak 12 Provinsi di Tanah Air menunjukkan angka prevalensinya masih di atas 1,6% antara lainAceh, Bengkulu,Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,Banten,Jawa Barat,Sulawesi, Gorontalo, Kalimantan Timur. “Hal itu karena masih rendahnya kesadaran masyarakat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan sebelum melakukan persiapan makanan, juga akses air bersih khususnya penggunaan air bekas pada berbagai kebutuhan rumah tangga di Indonesia,” katanya. Menurut Bonita, vaksinasi tifoid memang belum diwajibkan di Indonesiam Namun, mengingat Indonesia sebagai kawasan endemis tifoid dan adanya resiko kompleksitas, maka pemberian vaksin itu menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Meskipun demikian, kata Bonita, nasib Indonesia masih cukup beruntung dibandingkan dengan negara-negara lain yang cukup marak dengan catatan tifoid. ”Indonesia masih rendah resikonya dibandingkan dengan sebagian negara di Afrika.” Ujarnya. Sementara itu, data yang dikeluarkan pada pertemuan di Bali, penyakit tifoid menyerang sekitar 21 juta orang dengan menyebabkan kematian 216.000 per tahun. Penyakit tersebut paling banyak menyerang anak usia di bawah 15 tahun. Sedangkan invasive Non Typhoid salmonella menyebabkan sekitar 3,4 juta kejadian dan 681.316 kematian per tahun . Mohamad Subuh, Direktur Jendral Pengendalian Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, menilai setiap anak berhak mendapatkan kesempatan hidup hidup yang sehat dan produktif. Menurut Subuh, banyak negara Asia dan Afrika, invasive Salmonella masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu, kami perlu bekerja sama untuk mengembangkan alat diagnostik, serta vaksin yang efektif dan membuat pengobatan lebih mudah dijangkau bagi masyarakat yang membutuhkan di dunia,” Tantangan Baru Tifoid sebagai serotif utama dari invasive salmonella dapat diobati dengan antibiotik yang digunakan saat ini memunculkan tantangan baru. Menurut subuh, kurangnya alat diagnostik yang efektif menambah penanganan permasalahan yang rumit. Permasalahan itu yang mendasari dorongan kebutuhan untuk menggunakan vaksin tifoid dalam jangka pendek. Kendati sudah terbit rekomendasi dari WHO,Subuh mengatakan penggunaan vaksin di daerah endemis masih minim. Imran Khan, Direktur Coalition Againts Typhoid (CAT) yang berbasis di Sabin Vaccine Institute,amerika Serikat, mengatakan penggunaan vaksin akan mampu memberikan solusi cepat terhadap penderita penyakit tifoid. Menurutnya, koalisi sudah mencapai kemajuan pesat sejak konferensi Internasional Tifoid terakhir yang berlangsung di Dhaka, Bangladesh pada 2013. Imran mengatakan sebanyak dua vaksin konjugat telah mengantongi lisensi untuk digunakan di India dan enam lagi sedang dalam proses tahap uji klinis dan akan mendapatkan lisensi untuk digunakan di masing masing negara pembuat vaksin tahun 2018. Untuk melanjutkan pencapaian ini, koalisi menggandeng partner pada tahap-tahap penting berikutnya dengan menyokong kebijakan imunisasi dan komitmen dukungan finansial untuk vaksin tifoid konjugat. Vaksin konjugat yang telah mendapatkan lisensi di India termasuk ketersediaan dan penggunaanya pada masyarakat luas, merupakan salah satu pencapaian penting dalam pencegahan tifoid. Imran menjelaskan konferensi itu menjadi awal penggunaan vaksin secara luas melalui program imunisasi nasional. Vaksin tifoid konjugat diharapkan mampu memberikan perlindungan yang efektif kepada kelompok risiko tinggi dan dapat diberikan kepada anak sejak usia enam bulan. Vaksin ini mampu memberikan perlindungan yang lebih lama. Vaksin Konjugat dapat mencegah 90% kasus dan kematian tifoid dengan perkiraan dapat menyelamatkan hingga 190.000 nyawa per tahun. Brian Davis, perwakilan koalisi menyebutkan bahwa saat ini terdapat dua produk vaksin konjugat yang telah memiliki izin edar di India. Sementara itu, perlu dilakukan transfer teknologi kepada tiga produsen yang akan mulai melakukan uji klinis yang salah satunya adalah Bio Farma dari Indonesia.
- Proses pengembangan vaksin tifoid konjugat sudah mencapai tahap praklinis dalam waktu sekitar setahun.
- Penyakit tifoid dan INTS memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi negara-negara berkembang.
Iskandar, Direktur Utama Bio Farma mengemukakan pihaknya merasa gembira karena dipercayakan menjadi mitra untuk penyelenggaraan konferensi itu, bekerjasama dengan coalition Against Typhoid (CAT). Menurut Iskandar, pertemuan ini membuka peluang bagi Bio Farma untuk percepatan kapasitas riset karena Bio Farma memiliki pengalaman dalam pengembangan itu. Selain vaksin Tifoid Konjugat, Bio Farma sedang mengembangkan vaksin rubella dan campak atau MR (Meales Rubella) yang sedang dalam tahap uji pra klinis, dan new TB vaccine, yang masih dalam tahap riset dasar, serta produk lifescience lainnya.
- Headline : Menanti Penangkal Karya Anak Bangsa Media : Bisnis Indonesia
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi: N Nurlaela Head of Corporate Communications Department. PT Bio Farma (Persero) Jl. Pasteur No. 28 Bandung – 40161 Indonesia Phone : +62 22 2033755 ext. 37431 Fax : +62 22 2041306 Email : mail@biofarma.co.id Web : www.biofarma.co.id Twitter | Instagram | Youtube : @biofarmaID [:ID]
Yanto Rachmat Iskandar --> yanto.rachmat@bisnis.co.id PT Bio Farma (Persero), menjadi satu-satunya produsen vaksin di Indonesia yang turut memaparkan perkembangan hasil riset vaksin tifoid atau tifus kepada sekitar 200 stakeholder kesehatan dari seluruh dunia. Pemaparan hasil riset Bio Farma untuk vaksin tifoid itu menunjukkan adanya kemajuan, bahkan percepatan dalam pembuatan vaksin tifoid dan invasive non typhoid Salmonella (INTS). Dan sepertinya, Bio Farma segera mampu memproduksi vaksin tifoid konjugat untuk menangkal tifoid dan INTS. Hal yang tentunya menggembirakan sekaligus membanggakan bagi perkembangan industri kesehatan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Erman Tritama, peneliti muda Bio Farma mengemukakan proses pengembangan vaksin tifoid konjugat sudah mencapai tahap Pra-Klinis dalam waktu sekitar setahun.Uji pra klinis itu merupakan uji toksisitas dan Imunogenitas Sesuai rencana perusahaan, proses uji praklinis rampung pada Juni 2015 dan pada juli prosesnya bisa berlanjut ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk memasuki uji klinis fase I, fase II, dan fase III. “Maka sesuai target kami, lisensi vaksin ini akan didapatkan pada kuartal IV/2017 dan diharapkan pada 2018 sudah dapat digunakan di Indonesia,” ucapnya. Supaya produk Bio Farma itu mampu menembus pasar ekspor, kata Erman, Bio Farma siap mengajukan uji Pra Kualifikasi melalui Badan Kesehatan Dunia atau WHO. Menurut Erman, proses tersebut akan memakan waktu sekitar setahun. Dengan demikian, produk karya anak Bangsa itu diharapkan sudah di ekspor pada 2019, denagn tujuan negara-negara yang memiliki resiko dengan Salmonella. Kesadaran Rendah Penyakit Tifoid dan INTS memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dan sevbagian besar penghuni benua Asia dan Afrika. Masalah sanitasi dan perilaku hidup tidak sehat mendorong kawasan itu menjadi endemis penyakit Tifoid. Seperti dituturkan peneliti Universitas Indonesia (UI) Bonita Effendi, resiko kematian akibat tifoid di Indonesia mencapai 1,25%, sedangkan hasil riset kesehatan dasar oleh Kementrian Kesehatan pada 2007 menyebutkan angka prevalensi tifoid di Indonesia mencapai 0,3%-3%, dengan angka rata-rata mencapai 1,6%. Sebanyak 12 Provinsi di Tanah Air menunjukkan angka prevalensinya masih di atas 1,6% antara lainAceh, Bengkulu,Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,Banten,Jawa Barat,Sulawesi, Gorontalo, Kalimantan Timur. “Hal itu karena masih rendahnya kesadaran masyarakat menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti mencuci tangan sebelum melakukan persiapan makanan, juga akses air bersih khususnya penggunaan air bekas pada berbagai kebutuhan rumah tangga di Indonesia,” katanya. Menurut Bonita, vaksinasi tifoid memang belum diwajibkan di Indonesiam Namun, mengingat Indonesia sebagai kawasan endemis tifoid dan adanya resiko kompleksitas, maka pemberian vaksin itu menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Meskipun demikian, kata Bonita, nasib Indonesia masih cukup beruntung dibandingkan dengan negara-negara lain yang cukup marak dengan catatan tifoid. ”Indonesia masih rendah resikonya dibandingkan dengan sebagian negara di Afrika.” Ujarnya. Sementara itu, data yang dikeluarkan pada pertemuan di Bali, penyakit tifoid menyerang sekitar 21 juta orang dengan menyebabkan kematian 216.000 per tahun. Penyakit tersebut paling banyak menyerang anak usia di bawah 15 tahun. Sedangkan invasive Non Typhoid salmonella menyebabkan sekitar 3,4 juta kejadian dan 681.316 kematian per tahun . Mohamad Subuh, Direktur Jendral Pengendalian Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, menilai setiap anak berhak mendapatkan kesempatan hidup hidup yang sehat dan produktif. Menurut Subuh, banyak negara Asia dan Afrika, invasive Salmonella masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. “Oleh karena itu, kami perlu bekerja sama untuk mengembangkan alat diagnostik, serta vaksin yang efektif dan membuat pengobatan lebih mudah dijangkau bagi masyarakat yang membutuhkan di dunia,” Tantangan Baru Tifoid sebagai serotif utama dari invasive salmonella dapat diobati dengan antibiotik yang digunakan saat ini memunculkan tantangan baru. Menurut subuh, kurangnya alat diagnostik yang efektif menambah penanganan permasalahan yang rumit. Permasalahan itu yang mendasari dorongan kebutuhan untuk menggunakan vaksin tifoid dalam jangka pendek. Kendati sudah terbit rekomendasi dari WHO,Subuh mengatakan penggunaan vaksin di daerah endemis masih minim. Imran Khan, Direktur Coalition Againts Typhoid (CAT) yang berbasis di Sabin Vaccine Institute,amerika Serikat, mengatakan penggunaan vaksin akan mampu memberikan solusi cepat terhadap penderita penyakit tifoid. Menurutnya, koalisi sudah mencapai kemajuan pesat sejak konferensi Internasional Tifoid terakhir yang berlangsung di Dhaka, Bangladesh pada 2013. Imran mengatakan sebanyak dua vaksin konjugat telah mengantongi lisensi untuk digunakan di India dan enam lagi sedang dalam proses tahap uji klinis dan akan mendapatkan lisensi untuk digunakan di masing masing negara pembuat vaksin tahun 2018. Untuk melanjutkan pencapaian ini, koalisi menggandeng partner pada tahap-tahap penting berikutnya dengan menyokong kebijakan imunisasi dan komitmen dukungan finansial untuk vaksin tifoid konjugat. Vaksin konjugat yang telah mendapatkan lisensi di India termasuk ketersediaan dan penggunaanya pada masyarakat luas, merupakan salah satu pencapaian penting dalam pencegahan tifoid. Imran menjelaskan konferensi itu menjadi awal penggunaan vaksin secara luas melalui program imunisasi nasional. Vaksin tifoid konjugat diharapkan mampu memberikan perlindungan yang efektif kepada kelompok risiko tinggi dan dapat diberikan kepada anak sejak usia enam bulan. Vaksin ini mampu memberikan perlindungan yang lebih lama. Vaksin Konjugat dapat mencegah 90% kasus dan kematian tifoid dengan perkiraan dapat menyelamatkan hingga 190.000 nyawa per tahun. Brian Davis, perwakilan koalisi menyebutkan bahwa saat ini terdapat dua produk vaksin konjugat yang telah memiliki izin edar di India. Sementara itu, perlu dilakukan transfer teknologi kepada tiga produsen yang akan mulai melakukan uji klinis yang salah satunya adalah Bio Farma dari Indonesia.
- Proses pengembangan vaksin tifoid konjugat sudah mencapai tahap praklinis dalam waktu sekitar setahun.
- Penyakit tifoid dan INTS memang menjadi momok yang cukup menakutkan bagi negara-negara berkembang.
Iskandar, Direktur Utama Bio Farma mengemukakan pihaknya merasa gembira karena dipercayakan menjadi mitra untuk penyelenggaraan konferensi itu, bekerjasama dengan coalition Against Typhoid (CAT). Menurut Iskandar, pertemuan ini membuka peluang bagi Bio Farma untuk percepatan kapasitas riset karena Bio Farma memiliki pengalaman dalam pengembangan itu. Selain vaksin Tifoid Konjugat, Bio Farma sedang mengembangkan vaksin rubella dan campak atau MR (Meales Rubella) yang sedang dalam tahap uji pra klinis, dan new TB vaccine, yang masih dalam tahap riset dasar, serta produk lifescience lainnya.
- Headline : Menanti Penangkal Karya Anak Bangsa Media : Bisnis Indonesia
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi: N Nurlaela Head of Corporate Communications Department. PT Bio Farma (Persero) Jl. Pasteur No. 28 Bandung – 40161 Indonesia Phone : +62 22 2033755 ext. 37431 Fax : +62 22 2041306 Email : mail@biofarma.co.id Web : www.biofarma.co.id Twitter | Instagram | Youtube : @biofarmaID [:]