Pemerintah Gandeng Filantrop untuk Riset Vaksin
JAKARTA Indonesia memerlukan pengembangan riset vaksin untuk menanggulangi berbagai penyakit. Pemerintah akan menghubungi para filantrop untuk membantu pengembangannya. Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) Muhammadi Dimyati mengatakan, bahan baku obat di Indonesia masih tergantung dari luar. Padahal kekayaan sumber daya di Indonesia luar biasa. Namun tidak hanya kaya sumber daya, berbagai jenis penyakit juga menyebar di Indonesia. "Pengembangan riset vaksin menjadi satu keharusan, kalau tidak kita akan dipermainkan negara besar," katanya pada acara seminar bertema "Tantangan Menuju Kemandirian Riset Nasional Bidang Life Science" kemarin di Jakarta. Melalui Forum Riset Life Science Nasional (FRLN) diharapkan adanya riset vaksin yang pasti akan didukung pemerintah dan stakeholder terkait.
Pemerintah menjamin akan mendukung pendanaan untuk seluruh riset di Indonesia. MenristekDikti M Nasir pun, menurutnya, sudah menginstruksikan perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) menyisihkan dana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 25% untuk riset, Badan Layanan Umum (BLU) 25%, dan PTN satuan kerj a 10 %. Dimyati menuturkan, potensi dukungan dana dari filantrop sangat tidak terbatas. Saat ini ada salah satu orang kaya di Indonesia yang sudah membantu seratusan miliar untuk salah satu riset. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siswanto menjelaskan, kemandirian bahan baku obat harus dilakukan dengan pendekatan penelitian. Untuk mengembangkan riset menjadi sebuah produk memerlukan sinergi antara akademisi, pebisnis, dan pemerintah. Namun diaberharap agar penelitian itu didekatkan kepada industri. Direktur Bio Farma Iskandar menambahkan, produk Life Science Nasional akan mendorong tersedianya biofarmasetikal berharga terjangkau bagi masyarakat. Dia menjelaskan, konsorsium penelitian yang telah terbentuk enam tahun ini telah berhasil membentuk lima konsorsium penyakit, yakni untuk tuberkulosis, hepatitis B, dengue, HPV, dan HIV. Lalu ada tujuh working group untuk eritropoietin (EPO), rotavirus, malaria, influenza, stem cell, delivery system and adjuvant, dan pneumokokus. Meski demikian konsorsium riset ini masih memerlukan dukungan pengembangan agar riset dapat dikomersialkan.
- nenengzubaidah
Sumber : Koran Sindo