Perkuat Surveilans Berbasis Laboratorium
JAKARTA, KOMPAS Untuk mengantisipasi penyebaran virus zika, surveilans berbasis laboratorium perlu diperkuat. Hal itu memerlukan kesadaran tenaga kesehatan untuk selalu mempertimbangkan dugaan zika pada pasien demam dan penguatan kapasitas laboratorium di daerah. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Hariadi Wibowo, Senin (5/9), di Jakarta, mengatakan, surveilans berbasis laboratorium memerlukan laboratorium rujukan yang kompeten. Itu didukung jejaring laboratorium yang baik. "Laboratorium di daerah harus mampu mengambil dan mengirim sampel dengan baik," ujarnya. Laboratorium di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, menjadi laboratorium rujukan nasional bagi penyakit Untuk jenis penyakit tertentu, laboratorium di Bio Farma dan Universitas Airlangga bisa dipakai. Laboratorium milik perguruan tinggi lain juga dapat digunakan. Jika diperlukan, Balitbangkes bisa berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sebab, lembaga Eijkman memiliki laboratorium riset.
Menegakkan diagnosis
Selain membangun jejaring laboratorium yang kuat, tenaga kesehatan juga perlu selalu mempertimbangkan kemungkinan infeksi zika pada tiap pasien demam. Jadi, sampel darah yang diambil tak hanya diperiksa apakah positif demam berdarah atau tidak, tetapi juga positif zika atau tidak. Di tempat terpisah, Prof Nasrin Kodim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, melalui data surveilans, pemerintah berpeluang menyelamatkan ribuan nyawa. Namun, untuk menghasilkan data kuat, sebaiknya surveilans dilakukan lembaga di luar Kemenkes. Lembaga itu langsung di bawah presiden, memiliki sumber daya dan sumber dana yang memadai untuk bertindak. Terkait kartu peringatan kesehatan (health alert card) yang diberikan kepada penumpang yang masuk ke Indonesia, menurut Hariadi, kartu itu hanya akan efektif jika masyarakat berperan aktif. Pemerintah harus realistis bahwa tak semua warga memanfaatkan kartu itu. (ADH)
Sumber : Kompas
JAKARTA, KOMPAS Untuk mengantisipasi penyebaran virus zika, surveilans berbasis laboratorium perlu diperkuat. Hal itu memerlukan kesadaran tenaga kesehatan untuk selalu mempertimbangkan dugaan zika pada pasien demam dan penguatan kapasitas laboratorium di daerah. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Hariadi Wibowo, Senin (5/9), di Jakarta, mengatakan, surveilans berbasis laboratorium memerlukan laboratorium rujukan yang kompeten. Itu didukung jejaring laboratorium yang baik. "Laboratorium di daerah harus mampu mengambil dan mengirim sampel dengan baik," ujarnya. Laboratorium di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, menjadi laboratorium rujukan nasional bagi penyakit Untuk jenis penyakit tertentu, laboratorium di Bio Farma dan Universitas Airlangga bisa dipakai. Laboratorium milik perguruan tinggi lain juga dapat digunakan. Jika diperlukan, Balitbangkes bisa berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sebab, lembaga Eijkman memiliki laboratorium riset.
Menegakkan diagnosis
Selain membangun jejaring laboratorium yang kuat, tenaga kesehatan juga perlu selalu mempertimbangkan kemungkinan infeksi zika pada tiap pasien demam. Jadi, sampel darah yang diambil tak hanya diperiksa apakah positif demam berdarah atau tidak, tetapi juga positif zika atau tidak. Di tempat terpisah, Prof Nasrin Kodim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan, melalui data surveilans, pemerintah berpeluang menyelamatkan ribuan nyawa. Namun, untuk menghasilkan data kuat, sebaiknya surveilans dilakukan lembaga di luar Kemenkes. Lembaga itu langsung di bawah presiden, memiliki sumber daya dan sumber dana yang memadai untuk bertindak. Terkait kartu peringatan kesehatan (health alert card) yang diberikan kepada penumpang yang masuk ke Indonesia, menurut Hariadi, kartu itu hanya akan efektif jika masyarakat berperan aktif. Pemerintah harus realistis bahwa tak semua warga memanfaatkan kartu itu. (ADH)
Sumber : Kompas