VAKSIN UNTUK INVESTASI KESEHATAN DI MASA DEPAN
SCHOOL of Vaccine for Journalist (SVJ) diselenggarakan untuk keempat kalinya dengan mengundang para jurnalis media cetak, elektronik, dan online di Kota Manado.
Sakit itu mahal, bukan berita baru di zaman yang serba sibuk ini. Demikian pula dengan biaya pengobatan yang makin tinggi, menjadi kenyataan yang tak bisa dimungkiri. Tapi, pernahkah kita berpikir lebih baik menangkal daripada mengobati? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Untuk beberapa penyakit yang sudah umum dilakukan vaksinasinya, mungkin tak ada masalah. Namun untuk beberapa penyakit serius yang trennya kian meningkat, masih belum banyak yang punya kesadaran untuk mencegahnya. Sebut saja, misalnya, kanker serviks. “Untuk satu kali kemoterapi saja, biayanya sangat mahal,” ujar dr. Piprim B. Yanuarso, Sp. A (K), Sekjen Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat menjadi pembicara di acara School of Vaccine for Journalist (SVJ), di Manado, Kamis, 5 November lalu. Artinya,mengobati tetap akan menguras kocek lebih dalam ketimbang mencegah.
Edukasi tentang seluk beluk vaksin, imunisasi, dan bioteknologi ini merupakan program rutin dari Corporate Communication Departement PT Bio Farma (Persero) dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Kali ini, SVJ 2015 diselenggarakan untuk keempat kalinya dengan mengundang para jurnalis media cetak, elektronik, dan online di Kota Manado, Sulawesi Utara. “Ini kali pertama Bio Farma menyapa rekan jurnalis wilayah timur. Sebelumnya dilakukan di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Kami terus menerus melakukan sosialisasi ini karena pemahaman tentang vaksin dan bioteknologi ini bukan sesuatu yang mudah.” Ucap N. Nurlaela, Head of Corporate Communication Bio Farma. Hingga saat ini, SVJ telah meluluskan lebih dari 100 peserta.
Zaman sekarang, untuk kemajuan suatu bidang tak bisa hanya mengendalikan akademisi, pemerintah, bisnis, atau komunitas semata. “Life science dan bioteknologi bisa dipahami masyarakat dan di-support kemajuannya di lingkungan, tidak bisa lepas dari kontribusi media Indonesia punya biodiversity, cultural diversity, dan geodiversity yang luar biasa. Sulawesi, salah satu yang terkaya di Indonesia. Inilah yang menjadi pertimbangan kami menyelenggarakan SVJ di Sulawesi,” tutur M. Rahman Rustan, Corporate Secertary Bio Farma, di awal acara.
“Kalau keragaman hayati (biodiversity) ini tak kita muliakan, pemanfaatannya sangat kurang, sangat disayangkan kalau Indonesia hanya bisa mengirim bahan mentah saja,” katanya.
Dalam perjalanan memasuki usia ke-125 tahun, Bio Farma sebagai satu-satunya produsen vaksin dan antisera di Indonesia akan terus mengembangkan ketiga pilar tersebut. “Sesuai dengan filosofi Bio Farma, dedicated to improve quality of life, meningkatkan kualitas hidup bukan hanya dengan meningkatkan kesehatan masyarakat, tapi kualitas bumi dan lingkungan. Kami masuk ke aspek lingkungan, baik nasional maupun global,” ujar Rahman.
Kesedaran masyarakat akan pentingnya vaksin harus dilakukan semua sektor. Selain dengan jurnalis, Bio Farma juga bersinergi dengan beberapa pihak, terutama dengan sekolah, melalui duta vaksin dan duta kesehatan sekolah di tingkat SMA. Pentingnya sosialisasi vaksin di satu sisi dan kemampuan memproduksi vaksin di sisi lain menunjukkan tingginya tanggung jawab Bio Farma. Hingga awal 2015, Bio Farma telah mengekspor 12 vaksin ke 139 negara di dunia, Rahman menerangkan, di Asia Tenggara Bio Farma paling besar, dan di antara 200 badan dunia yang memproduksi vaksin jumlahnya kurang dari 30, salah satunya Indonesia. Di negara berkembang Bio Farma telah dipercaya menjadi Presiden Asosiasi Vaksin (DCVMN) dan Organization of Islamic Cooperation (OIC). Jika kepercayaan ini semakin tumbuh, negara-negara berkembang akan mengandalkan ketersediaan vaksinnya pada Indonesia.
“Ke depan, kita bisa menjadi penyedia intermediate product (barang setengah jadi) ke Timur Tengah, Tunisia, juga Iran. Tentunya dengan mendorong biodiversity Indonesia agar virus dan bakteri dari Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan global.” Kata Rahman.
Kepercayaan dunia pada produksi vaksin Bio Farma menorehkan kebanggaan tersendiri. Namun di negeri sendiri, menumbuhkan kesadaran pentingnya mencegah daripada mengobati penyakit menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah putus. Dokter Piprim menggarisbawahi, jangan menganggap kalau penyakitnya taka da di depan mata, kita lantas menganggap vaksinasi itu tidak penting. Padahal penyakit tak muncul juga dikarenakan prestasi vaksin itu sendiri. “Jangan sampai kasus wabah difteri, seperti di Padang, Aceh dan Madura terjadi lagi. Itu bukti yang gambling.” Katanya. Ketika orang ramai-ramai menolak imunisasi, bisa terjadi re-emerging disease atau virus muncul kembali.
Di dunia global, dokter Piprim menjelaskan, kita tak bisa menganggap Indonesia bebas polio. Namun di belahan dunia lainnya, polio masih ada. “Dengan sarana transportasi yang sangat mudah, virus itu tetap bisa masuk ke Indonesia. Nah, bagaimana membuat kondisi yang sehat ini tetap sehat, inilah persoalannya.” Ujar dokter yang menyediakan layanan rumah vaksinasi ini.
Di Indonesia, enam vaksin yang disubsidi pemerintah dan bisa didapatkan gratis di puskesmas, yaitu DPT, Hib, polio, hepatitis B, campak, dan BCG. “Dimana pun, kualitasnya sebetulnya sama, yang membedakan adalah gengsinya,” ucap doctor Piprim berseloroh. Ke depan, aka nada banyak vaksin baru. Jika disubsidi oleh pemerintah, diharapkan harganya lebih terjangkau. Bayangkan, untuk vaksin diare, misalnya kita butuh sekitar Rp 300 ribu untuk sekali vaksin. Tapi saat dirawat dirumah sakit, biayanya berkali-kali lipat lebih banyak,” ujar dokter spesialis anak ini. Untuk investasi kesehatan di masa depan, vaksin lebih murah dibandingkan dengan mengobati.
Melalui edukasi yang berkesinambungan, Bio Farma berkomitmen membuat Indonesia dan dunia menjadi tempat hidup yang lebih sehat.
Sumber : Koran Tempo Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi : N. Nurlaela Head of Corporate Communications Dept. PT Bio Farma (Persero) Telp : 022 203 3755 Fax : 022 204 1306 E-mail : corcom@biofarma.co.id
SCHOOL of Vaccine for Journalist (SVJ) diselenggarakan untuk keempat kalinya dengan mengundang para jurnalis media cetak, elektronik, dan online di Kota Manado.
Sakit itu mahal, bukan berita baru di zaman yang serba sibuk ini. Demikian pula dengan biaya pengobatan yang makin tinggi, menjadi kenyataan yang tak bisa dimungkiri. Tapi, pernahkah kita berpikir lebih baik menangkal daripada mengobati? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Untuk beberapa penyakit yang sudah umum dilakukan vaksinasinya, mungkin tak ada masalah. Namun untuk beberapa penyakit serius yang trennya kian meningkat, masih belum banyak yang punya kesadaran untuk mencegahnya. Sebut saja, misalnya, kanker serviks. “Untuk satu kali kemoterapi saja, biayanya sangat mahal,” ujar dr. Piprim B. Yanuarso, Sp. A (K), Sekjen Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat menjadi pembicara di acara School of Vaccine for Journalist (SVJ), di Manado, Kamis, 5 November lalu. Artinya,mengobati tetap akan menguras kocek lebih dalam ketimbang mencegah.
Edukasi tentang seluk beluk vaksin, imunisasi, dan bioteknologi ini merupakan program rutin dari Corporate Communication Departement PT Bio Farma (Persero) dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. Kali ini, SVJ 2015 diselenggarakan untuk keempat kalinya dengan mengundang para jurnalis media cetak, elektronik, dan online di Kota Manado, Sulawesi Utara. “Ini kali pertama Bio Farma menyapa rekan jurnalis wilayah timur. Sebelumnya dilakukan di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Kami terus menerus melakukan sosialisasi ini karena pemahaman tentang vaksin dan bioteknologi ini bukan sesuatu yang mudah.” Ucap N. Nurlaela, Head of Corporate Communication Bio Farma. Hingga saat ini, SVJ telah meluluskan lebih dari 100 peserta.
Zaman sekarang, untuk kemajuan suatu bidang tak bisa hanya mengendalikan akademisi, pemerintah, bisnis, atau komunitas semata. “Life science dan bioteknologi bisa dipahami masyarakat dan di-support kemajuannya di lingkungan, tidak bisa lepas dari kontribusi media Indonesia punya biodiversity, cultural diversity, dan geodiversity yang luar biasa. Sulawesi, salah satu yang terkaya di Indonesia. Inilah yang menjadi pertimbangan kami menyelenggarakan SVJ di Sulawesi,” tutur M. Rahman Rustan, Corporate Secertary Bio Farma, di awal acara.
“Kalau keragaman hayati (biodiversity) ini tak kita muliakan, pemanfaatannya sangat kurang, sangat disayangkan kalau Indonesia hanya bisa mengirim bahan mentah saja,” katanya.
Dalam perjalanan memasuki usia ke-125 tahun, Bio Farma sebagai satu-satunya produsen vaksin dan antisera di Indonesia akan terus mengembangkan ketiga pilar tersebut. “Sesuai dengan filosofi Bio Farma, dedicated to improve quality of life, meningkatkan kualitas hidup bukan hanya dengan meningkatkan kesehatan masyarakat, tapi kualitas bumi dan lingkungan. Kami masuk ke aspek lingkungan, baik nasional maupun global,” ujar Rahman.
Kesedaran masyarakat akan pentingnya vaksin harus dilakukan semua sektor. Selain dengan jurnalis, Bio Farma juga bersinergi dengan beberapa pihak, terutama dengan sekolah, melalui duta vaksin dan duta kesehatan sekolah di tingkat SMA. Pentingnya sosialisasi vaksin di satu sisi dan kemampuan memproduksi vaksin di sisi lain menunjukkan tingginya tanggung jawab Bio Farma. Hingga awal 2015, Bio Farma telah mengekspor 12 vaksin ke 139 negara di dunia, Rahman menerangkan, di Asia Tenggara Bio Farma paling besar, dan di antara 200 badan dunia yang memproduksi vaksin jumlahnya kurang dari 30, salah satunya Indonesia. Di negara berkembang Bio Farma telah dipercaya menjadi Presiden Asosiasi Vaksin (DCVMN) dan Organization of Islamic Cooperation (OIC). Jika kepercayaan ini semakin tumbuh, negara-negara berkembang akan mengandalkan ketersediaan vaksinnya pada Indonesia.
“Ke depan, kita bisa menjadi penyedia intermediate product (barang setengah jadi) ke Timur Tengah, Tunisia, juga Iran. Tentunya dengan mendorong biodiversity Indonesia agar virus dan bakteri dari Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan global.” Kata Rahman.
Kepercayaan dunia pada produksi vaksin Bio Farma menorehkan kebanggaan tersendiri. Namun di negeri sendiri, menumbuhkan kesadaran pentingnya mencegah daripada mengobati penyakit menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah putus. Dokter Piprim menggarisbawahi, jangan menganggap kalau penyakitnya taka da di depan mata, kita lantas menganggap vaksinasi itu tidak penting. Padahal penyakit tak muncul juga dikarenakan prestasi vaksin itu sendiri. “Jangan sampai kasus wabah difteri, seperti di Padang, Aceh dan Madura terjadi lagi. Itu bukti yang gambling.” Katanya. Ketika orang ramai-ramai menolak imunisasi, bisa terjadi re-emerging disease atau virus muncul kembali.
Di dunia global, dokter Piprim menjelaskan, kita tak bisa menganggap Indonesia bebas polio. Namun di belahan dunia lainnya, polio masih ada. “Dengan sarana transportasi yang sangat mudah, virus itu tetap bisa masuk ke Indonesia. Nah, bagaimana membuat kondisi yang sehat ini tetap sehat, inilah persoalannya.” Ujar dokter yang menyediakan layanan rumah vaksinasi ini.
Di Indonesia, enam vaksin yang disubsidi pemerintah dan bisa didapatkan gratis di puskesmas, yaitu DPT, Hib, polio, hepatitis B, campak, dan BCG. “Dimana pun, kualitasnya sebetulnya sama, yang membedakan adalah gengsinya,” ucap doctor Piprim berseloroh. Ke depan, aka nada banyak vaksin baru. Jika disubsidi oleh pemerintah, diharapkan harganya lebih terjangkau. Bayangkan, untuk vaksin diare, misalnya kita butuh sekitar Rp 300 ribu untuk sekali vaksin. Tapi saat dirawat dirumah sakit, biayanya berkali-kali lipat lebih banyak,” ujar dokter spesialis anak ini. Untuk investasi kesehatan di masa depan, vaksin lebih murah dibandingkan dengan mengobati.
Melalui edukasi yang berkesinambungan, Bio Farma berkomitmen membuat Indonesia dan dunia menjadi tempat hidup yang lebih sehat.
Sumber : Koran Tempo Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi : N. Nurlaela Head of Corporate Communications Dept. PT Bio Farma (Persero) Telp : 022 203 3755 Fax : 022 204 1306 E-mail : corcom@biofarma.co.id