Mewujudkan Kemandirian dan Akselerasi Vaksin Melalui FRVN
Salah satu kemajuan Indonesia yang diakui dunia adalah sebagai Negara produsen vaksin, prestasi itu tidak terelakan. PT Bio Farma sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memproduksi vaksin tidak pernah berhenti dalam berinovasi. Salah satu strateginya yakni membentuk Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN). FRVN di bentuk pada 2011. Setiap tahun, FRVN menggelar pertemuan guna mengakselerasi lahirnya jenis vaksin baru demi kebutuhan manusia di dunia, khususnya di Indonesia. Pertemuan FRVN ke-4 berlangsung di Jakarta 19-20 Agustus 2014. Pertemuan kali ini melibatkan 250 peserta yang terdiri dari para peneliti, industry dan pemerintah. Mereka menggelar forum untuk merumuskan penciptaan vaksin baru dan akselerrasi proses produksinya. Menjadi penting FRVN di gelar menginangat penemuan vaksin baru di dunia industry kesehatan merupakan puncak prestasinya. Terlebih lagi, saat para pelaku farmasi telah siap mengimplementasikan vaksin hasil riset peneliti Tanah Air. “Kami berharap penelitian yang saat ini sedang dikembangkan oleh working groups dan konsorsium mulai mengarah pada kebutuhan industry, terutama dari sisi pemeuhan persyaratan regulasi (Persyaratan CPOB), WHO-TRS, dan kebutuhan pemenuhan pasar vaksin baru” ujar direktur utama PT. Bio Farma Drs. Iskandar MM ditengah FRVN ke-4 di Jakarta, Selasa (19/8). Optimis itu muncul Karena hasil penelitian dari lima konsorsium dan tujuh working groups yag dilakukan sejak 2011, mulai mengerucut pada penemuan vaksin baru. Sebagai BUMN farmasi, Bio Farma tak henti mengajak para periset menerapkan hasil risetnya untuk menutupi kebutuhan industry. Ajakan itu ditujukan untuk mewujudkan kemandiriaan produksi vaksin. Sesuai dengan tema FRVN ke-4 , yakni “Implementasi Hasil Riset Vaksin dalam Rangka Kemandirian Vaksin Nasional” Melalui FRVN, maka akan terlihat gambaran implementasi hasil riset dari masing-masing konssorsium. Selain itu dilakukan pula diseminasi aspek regulasi produsk agar riset dan pengembangan vaksin di Indonesia dapat terpola dengan jelas, dan mempunyai strategi implementasi yang baik. Selama forum berlangsung konsorsiun dan working group akan melakukan diskusi dan melaporkan perkembangannya. Hingga periode keempat, ada dua konsorsium yang menunjukan kemajuan signifikan dan dalam waktu dekat merilis vaksin Hepatitis B dan Eritropoetin (EPO) ke pasar. Dirjen Bina Kefarmasian Kemenkes RI Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., PhD. Mengakui, obat berperan strategis dalam ketahanan nasional. Untuk itu, kemandirian obat dan vaksin harus menjadi keharusan. Pihaknya mengapresiasi Bio Farma, di usianya yang ke-124 tahun, menjadi lima industry biologic atau vaksin tertua didunia. Keberadaan konsorsium juga mendukung global action plan WHO yang merekomendasikan imunisasi vaksin sebagai upaya ketahanan. Linda bersyukur, Indonesia memiliki Bio Farma yang memproduksi vaksin berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Ia pun mengajak para peneliti untuk lebih giat mengeluarkan ide-ide aplikatif, bukan sekedar paper riset. Mengingat, pemerintah saat ini tengah mencanangkan 70 persen produksi biological national serta 30 persen clinical national product di dalam negeri. “kami bangga produk Bio Farma mendapat predikat pre-qualified WHO, sehingga produknya dapat digunakan di mancanegara dan menjadi pemain global” tambah Linda. Ketua panitia FRVN ke-4, Erman Tritama menjelaskan FRVN ke-4 diikuti oleh 165 peneliti yang tergabung dalam lima konsorsium. Masing-masing meriset vaksin Hepatitis B, New –TB, Dengue, Vaksin HIV, Eritropoetin (EPO) atau Bio Similar. Pelaksanaan FRVN tahun ini dirangkaikan dengan HUT Bio Farma yang ke-124. Tak ketinggalan ada tujuh working groups serta lima konsorsium yang berpartisipasi. Mereka terdiri dari Influenza, Malaria, Rotavirus, Stem Cell, Pneumococcus and Delivery System, Human Papiloma Virus (HPV), dan kebijakan (Policy). Menteri riset dan teknologi RI Prof. Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS yang menjadi keynote speaker FRVN ke-4 sangat mengapresiasi perkembangan periset vaksin Tanah Air yang sangat di dukung oleh Bio Farma. “Kendala di Indonesia, sudah banyak yang mengakui riset anak bangsa tapi belum ada yang berani memproduksi massal. Kelemahannya memang pada sinergi dan koordinasi. Mari kita merombak itu seperti yang dilakukan Bio Farma” cetus Hatta. Ia memaparkan, data UNICEF, dalam dua tahun terakhir telah terselamatkan sekitar 22 juta balita berkat penemuan vaksin untuk imunisasi. Sayangnaya, di Indonesia, dari sekitar 26,4 juta balita masih terdapat 3,9 juta anak atau sekitar 14 persen diantaranya belum mendapat imunisasi dasar. Untuk menjangkaunya, Kemenristek ikut memacu kemandirian produksi vaksin. Kemenristek pun ikut mendukung konsorsium vaksin dengan sinergi pusat penelitian IPTEK unggulan. Salah satunya pusat penyakit tropis di Universitas Airlangga, Surabaya. “Saya setuju dengan konsorsium yang non-birokratif jelas Hatta. Sesuia dengan namanya, forum yang telah terbentuk sejak 2011 ini, terdiri dari para periset dari ranah akademisi, pemerintah dan industry, khususnya periset dalam bidang vaksin dan bioteknologi. Sumber: Republika, 20 Agustus 2014 halaman 5